Catatan Soemarni: Tahun 1928
by : Divisi Majalah Media Siswa

           "Dengarkan ibu dulu, Jun! Kamuー" 

           "Pokoknya, aku ingin pergi dari negara ini! Di sini terlalu kuno, lebih baik aku tinggal di luar negeri saja, titik!"

           Tut!

           Arjuna berjalan sambil mengeret koper hitamnya menuju ruang tunggu bandara setelah mengakhiri panggilan telepon genggamnya. Hari ini merupakan hari dimana ia akan meninggalkan tanah di mana ia berpijak selama delapan belas tahun belakangan. Ia memutuskan untuk mendaftarkan diri ke salah satu universitas di luar negeri karena tak ingin melanjutkan pendidikannya di Indonesia. Arjuna muak dengan negara ini yang tak akan membawanya ke kesuksesan yang ia damba. Ia pun sudah berencana untuk menetap dan bekerja di luar negeri dan meninggalkan Indonesia ketika pendidikannya telah selesai. 

           Arjuna duduk di sebuah kursi kosong dan membuka tas punggungnya guna mencari earphone. Ia berniat mendengarkan lagu-lagu kesukaannya untuk mengusir kebosanan yang melanda. Bukannya mendapat barang yang dicari, Arjuna justru menemukan sebuah buku tua nan usang di dalam tasnya. 

           Arjuna bertanya-tanya, buku siapa ini? Siapakah gerangan yang menaruh buku ini di tasku? Di sampul depannya tertulis “Catatan Soemarni” dengan kertas-kertas yang terlihat lusuh dan begitu rapuh. Langsung saja ia mengambil buku tersebut dan membukanya secara perlahan.

           Satu per satu, halaman demi halaman ia buka, hingga kedua netranya terpaku kepada beberapa baris kalimat.

11 Mei 1928
Andai akoe boekan bangsa Indonesia… Pasti akoe bisa menoentoet ilmoe dengan njaman.

28 Oktober 1928
Ketika pemoeda-pemoedi Indonesia menjatoekan asa dan semangat mereka…

           Arjuna merasakan perasaan aneh setelah membaca kalimat-kalimat tersebut. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya terasa lemas dan lambat laun kesadarannya mulai hilang. Tanpa dia sadari, raganya terserap ke dalam buku catatan tua tersebut.

           Bruk!

           Arjuna terjatuh. Kesadarannya pun kembali. Setelah menoleh ke kanan dan kiri, Ia pun tersadar bahwa dirinya sudah taklagi berada di ruang tunggu bandara. Arjuna berada di suatu tempat yang gelap dan asing. Sejauh mata memandang, hanya ada kegelapan, satu-satunya penerangan ialah cahaya berpendar di sekujur tubuhnya.

           "Halo! Apa ada orang? Dimana ini?" 

           Hening. Tak ada suara yang menyahut panggilannya. 

           "Wahai, anak muda!"

           Setelah beberapa lama Arjuna berteriak hingga ia kelelahan, ada seruan lantang seorang wanita yang menyentak Arjuna. Kalimat tersebut menggema. Terbesit rasa takut yang seketika menyelimuti hatinya. Namun, ia memberanikan diri untuk menjawab suara misterius itu. 

           "Siapa dirimu? Apa yang Engkau mau dariku?"

           Suara tersebut seketika menjawab.

           "Mengapa kau hendak meninggalkan tanah airmu yang telah susah payah kami perjuangkan kemerdekaannya? Apakah kamu tidak ingin memajukan tanah kelahiranmu?"

           Arjuna dengan spontan menjawab.

           "Untuk apa aku tinggal di negara ini? Negara yang jauh dari kata maju, negara yang masih tertinggal dari negara-negara adidaya di luar sana. Lebih baik aku menuntut ilmu di negara orang, mencari pekerjaan di sana, dan hidup bahagia."

           Suara misterius tersebut kemudian menanggapi.

           "Apakah kamu lupa dengan perjuangan para pemuda untuk memerdekakan bangsa Indonesia? Apakah kamu rela meninggalkan tanah kelahiranmu yang sudah kami perjuangkan dengan sepenuh jiwa, raga, serta pikiran kami? Memang negeri ini jauh tertinggal. Memang banyak negeri lain yang jauh lebih baik daripada tanah air ini. Namun tidakkah kamu berpikir apa yang akan terjadi jika seluruh anak bangsa berpikiran dan bertindak seperti dirimu? Jika seluruh anak bangsa angkat kaki dari sini, lantas siapakah yang akan meneruskan perjuangan kami dalam membela Indonesia?! "

           Arjuna tertegun, lisannya tak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun. 

           "Andai kata pada zaman penjajahan dulu kami bukan bangsa Indonesia, pasti kami bisa menuntut ilmu dengan nyaman. Andai kami bukan bangsa Indonesia, pasti kami bisa hidup dengan tenang tanpa ada bayang-bayang rasa takut akan peliknya perbudakan dari bangsa asing."

           Suara wanita misterius itu melanjutkan.

           "Namun, apa daya takdir menempatkan kami sebagai bangsa Indonesia. Kami tak punya pilihan selain menyatukan asa dan semangat para pemuda demi mewujudkan kebebasan ibu pertiwi dari kekangan para penjajah. Sekumpulan orang tua hanya bisa bermimpi, namun sekumpulan pemuda bisa membawa perubahan!"

           Seketika itu, Arjuna tersadar bahwa hal yang ia yakini selama ini merupakan hal yang salah.

           "Baiklah, aku berjanji akan kembali dan membangun Indonesia di masa yang akan datang. Sekarang, izinkan aku untuk kembali ke duniaku agar aku bisa melanjutkan kuliahku."

           Suara wanita tersebut menjawab dengan nada yang tinggi.
           "Bagaimana saya bisa yakin jika kamu akan menepati apa yang sudah engkau katakan? Apa yang berani engkau pertaruhkan sebagai jaminan atas perkataanmu?"

           "Aku berjanji! Aku akan menuntut ilmu dengan tekun sehingga aku dapat membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Sesungguhnya, perang terberat ialah perang melawan bangsa sendiri. Akan kupimpin para generasi muda untuk melakukan gebrakan demi kemaslahatan negeri kita, Indonesia!"

           Setelah Arjuna mengutarakan janjinya, suasana hening selama beberapa detik. Tak lama kemudian, ia seperti merasakan deja vu. Tubuhnya pun lesu lemah dan kesadarannya sirna.

           "Mas? Mas, bangun, Mas! Waduh, piye iki. Nggak pingsan kan, ya?"

           Arjuna merasa tubuhnya diguncang-guncangkan dan ia mendengar suara seorang wanita yang berlogat Jawa Tengah. Ia lalu mengerjapkan matanya. Matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Tubuhnya terduduk di ruang tunggu bandara, seperti sebelum kesadarannya terenggut. Tas dan kopernya masih seperti sedia kala. Akan tetapi, buku usang yang ia temukan beberapa saat lalu pun ikut sirna tanpa jejak!

           "Alhamdulillah, akhirnya bangun juga! Saya kira pingsan. Mas sudah tertidur selama dua jam, Masnya mau pergi kemana?"

           Terbersit kembali ingatannya pada suara wanita misterius di mimpinya. Arjuna merasa mantap dengan keputusannya kali ini.

           "Oh, saya… Saya ingin pulang, Bu. Terima kasih telah membangunkan saya!" 

           Arjuna segera mengeret koper hitamnya kembali ke pintu gerbang bandara dengan langkah yang mantap. Hatinya kini dipenuhi oleh rasa tenang dan puas hati meski ia batal pergi ke luar negeri. Arjuna akan berpegang teguh pada janjinya dengan suara wanita misterius, dia akan memajukan Indonesia dan meneruskan perjuangan perjuangan para leluhurnya yang telah mengorbankan segala milik mereka demi masa depan negeri ini. Arjuna berjanji, Ia tak akan mengecewakan para leluhur yang telah berjuang demi negara ini.